Ambon – Dana Pokir yang di anggarkan lewat APBD, merupakan kesepakatan bersama Pemkot Ambon dan DPRD, untuk menampung aspirasi dari masyarakat berupa saran, usul agar dana tersebut bisa bermanfaat sesuai keinginan dari masyarakat itu sendiri.
Dana Pokir DPRD Kota Ambon yang dianggarkan dari tahun ketahun terbilang sangat fantastis, apalagi setelah dana ini berubah wujud menjadi proyek-proyek, maka mulailah timbul pemikiran dari anggota DPRD bagaimana supaya proyek-proyek ini bisa dikelola sendiri.
Seperti yang terjadi di tahun 2021 misalnya, ada 361 paket proyek dengan skema pengadaan langsung (PL) dimana masing-masing proyek dengan nilai nominal di bawah Rp. 200 juta.
Hebatnya, dari 361 proyek PL, sebagian besar diantaranya yaitu sebanyak 321 proyek merupakan usulan Pokir DPRD dengan total anggaran senilai Rp. 55,6 Miliar.
Dengan anggaran sebesar Rp. 55,6 M untuk 321 proyek, maka masing-masing anggota DPRD mulai mengatur strategi bagaimana supaya proyek-proyek ini bisa mereka kelola sendiri.
Padahal mereka harus tahu bahwa dalam manegemen pengelolaan dana Pokir, area ini menjadi sisi rawan terjadinya tindak pidana korupsi.
Apalagi ada ketegasan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan harus di patuhi bahwa anggota DPRD tidak punya hak dan wewenang untuk mengelola dana pokir, itu menjadi kewenangan dari pihak executive (Pemkot), DPRD hanya mengawasi pelaksanaan dan realisasinya.
Akibatnya proyek-proyek yang di tangani anggota DPRD melalui dana pokir menjadi masalah dan berpotensi terjadinya perbuatan tindak pidana korupsi.
Data yang ada pada LSM LIRA Maluku berupa laporan masyarakat, disebutkan berbagai perincian untuk Pengadaan Langsung (PL) di Tahun Anggaran 2021.
“Dari laporan keuangan Pemkot Ambon di tahun itu, terdapat Belanja Modal pada Dinas PUPR sebesar Rp. 156,5 Miliar dengan realisasi sebesar Rp. 88 Miliar lebih atau 56,23 persen. Dari realisasi 88 Miliar tersebut, sebagian diantaranya yaitu sebesar Rp. 44,2 Miliar adalah merupakan pembayaran hutang tahun 2020, sehingga sisanya sebesar Rp. 43,7 Miliar di gunakan untuk membayar kegiatan tahun 2021,’ ungkap Korwil LSM LIRA Maluku, Jan Sariwating kepada media ini, Senin (22/1).
Berdasarkan SK Walikota Ambon No. 170 tahun 2021 tentang Penetapan Daftar Hutang Daerah, diketahui terdapat transaksi Belanja Modal (BM) Dinas PUPR TA 2021 yang masuk daftar hutang Pemkot Ambon sebesar Rp. 63,1 Miliar, sehingga seluruh transaksi BM Dinas PUPR pada TA 2021 adalah sebesar Rp. 106,9 Miliar ( 43,7M + 63,1 M ).
“Dari BM sebesar Rp. 106,9 Miliar ini, sebagian diantaranya sebesar Rp. 55,6 Miliar digunakan hanya untuk memenuhi usulan dari anggota DPRD berupa pokir dewan, dan dipakai sebagai PL dimana semuanya berupa paket proyek seperti pembuatan drainase, talud, lampu jalan, jalan lingkungan jaringan air bersih dan lain-lain,”.
Celakanya dari anggaran PL sebesar Rp. 55,6 M tersebut, ternyata sampai dengan selesai tahun anggaran 31 Desember 2021, realisasi pembayaran proyek hanya sebesar Rp. 13,2 Miliar, sehingga sisanya sebesar Rp. 42, 4 Miliar lebih merupakan gagal bayar, akibatnya itu menjadi hutang Pemkot.
“Hal tersebut menegaskan bahwa perencanaan dan realisasi Belanja Modal dengan mekanisme PL, tidak mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan ketersediakan anggaran. Pekerjaan PL ternyata membawa dampak serius atas sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPRD. Sebut saja dalam proses pengajuan dan penetapan pekerjaan PL, tidak ada proposal, namun seluruhnya diusulkan langsung oleh anggota DPRD,”ujarnya.
Tidak itu saja kata Sariwating, dari 321 proyek pokir, ada 24 proyek yang dikerjakan amburadul tidak sesuai dengan spek, berakibat pekerjaan tidak bermutu, bahkan ada yang kurang volume dan berpotensi terjadi kebocoran keuangan daerah sebesar Rp. 500 juta lebih.
Begitu juga dalam proses penetapan kontraktor pelaksana, DPRD berlaku diskriminatif bahkan tidak adil. Dalam hal ini, ada satu kontraktor bisa mengerjakan 3 hingga 5 proyek untuk 1 item pekerjaan.
“Seperti yang terjadi di Neg Tawiri, ada 5 proyek Pekerjaan Drainase, dikerjakan hanya oleh CV Excel Pratama dengan akumulasi dana sebesar Rp. 800 juta. Kemudian di Neg. Halong, ada 4 proyek Pekerjaan Drainase, dikerjakan oleh CV Puteri Kembar Permai dengan akumulasi dana sebesar Rp. 400 juta lebih,”ungkapnya.
Tidak hanya itu tambahnya, ada 5 proyek Pemasangan Lampu Jalan tersebar dalam kota Ambon, hanya dikerjakan oleh CV Panamas dengan akumulasi dana sebesar Rp. 700 juta. Ada juga CV Barestu yang mengerjakan 4 proyek lampu jalan, di susul 4 proyek penahan tanah, dikerjakan hanya oleh CV Soepandji.
Berikutnya proyek air bersih, pengaman jalan, jalan lingkungan dengan rata-rata 3 proyek juga hanya dikerjakan oleh satu kontraktor.
Menurut Sariwating, apa yang dilakukan anggota DPRD ini telah menyalahi Perpres No. 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah sebagaimana yang telah diubah dengan Perpres No. 12 tahun 2021.
Dalam Pasal 7 ayat 1 point f, disebutkan, semua pihak yang terlibat dalam Pengadaan Barang dan Jasa, memenuhi etika, menghindari dan mencegah pemborosan dan kebocoran keuangan Negara.
Kemudian ada PP No. 12 thn 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada pasal 3 ayat 1 disebutkan Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan manfaat untuk masyarakat, serta taat pada ketentuan per undang undangan.
Kondisi ini kata Sariwating, berakibat terjadinya kecemburuan diantara sesama kontraktor, karena tidak pernah diberikan pekerjaan, padahal di sisi lain ada kontraktor tertentu yang bisa menguasai proyek lebih dari 4 item.
Akibat yang lain adalah kelebihan pembayaran atas 24 proyek dengan akumulasi dana sebesar Rp. 500 juta lebih, karena kekurangan volume dan bisa berpotensi pada perbuatan tindak pidana korupsi.
“Dalam pengelolaan dana pokir ini, Pemkot Ambon yang punya anggaran, cuma berdiam diri dan terkesan hanya tunduk dan taat pada kemauan anggota DPRD, padahal dalam proses pengelolaan keuangan, Pemkot harus tunduk dan taat pada peraturan perundang undangan – undangan yang berlaku,” ujarnya.
Akibatnya, karena tidak ada ketersediaan uang pada Kas Daerah, dari 321 proyek usulan pokir DPRD tahun 2021, dengan anggaran sebesar Rp. 55, 6 Miliar, hanya Rp. 13,2 Miliar yang bisa dibayar oleh Pemkot Ambon, sisanya sebesar Rp. 42,4 Miliar merupakan hutang yang akan dibayar di tahun 2022, tentunya hal itu akan membebani keuangan daerah.
Menurutnya, kasus dana pokir DPRD Kota Ambon yang pengelolaannya selalu menuai masalah, tidak boleh dibiarkan berlanjut tapi harus dihentikan dan cara menghentikan adalah meminta KPK untuk melakukan proses investigasi.
“Jika dalam proses tersebut ditemukan ada praktek-proyek yang menjurus kepada tindak pidana korupsi, maka pelakunya siapapun dia, harus dimintai pertanggung jawaban.” tegas Sariwating. (K-06)