Ambon – Proyek pengadaan kapal operasional Pemda Seram bagian Barat (SBB) sebesar Rp. 7 Milliar, saat ini terpantau gagal total.
Proyek yang di gadang-gadang akan menjadi proyek prestise dan menjadi kebanggaan masyarakat SBB, ternyata membawa dampak buruk, tidak hanya pada jalannya roda pemerintahan tapi juga berpengaruh pada pengelolaan keuangan daerah.
Hal ini karena proses administrasi pengadaan yang buruk, maka pekerjaan proyek ini tercium ada yang tidak beres, sehingga aparat Polres SBB di tahun 2021 mulai melakukan puldata & pulbaket dan menjadikan proyek ini sebuah kasus.
Karena kasus ini mengambang tidak ada progres yang berarti, maka diambil alih penanganannya oleh Polda Maluku.
Gagalnya proyek ini bukan hanya karena kelalaian pihak Pemda dan kontraktor, tapi di duga kuat juga ada campur tangan pimpinan DPRD setempat.
Campur tangan pimpinan DPRD ini dapat di lihat dari ikut serta bersama Pemda menyetujui pencairan termin ke II di tahun 2021, padahal saat itu kegiatan pengadaan kapal belum tercantum pada Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
Sesuai data yang berhasil dihimpun LSM LIRA Maluku, diketahi di tahun 2020 tepatnya tanggal 06 April 2020, terjadi persetujuan kontrak dengan no. 552.02/SPK/PPK.PKOPD/DOS HUB/IV/2020 ditanda tangani antara Pemda SBB dengan PT Khairos Anugerah Marina (KAM) sebagai pemenang lelang.
“Dalam proses pekerjaan proyek, terjadi 2 kali perubahan kontrak (addendum). Dimana addendum I tanggal 13 Mei 2020, kemudian addendum II tanggal 16 Nopember 2020,” ungkap Korwil LSM LIRA Maluku, Jan Sariwating kepada media ini, Rabu (12/10/2022).
Dikatakan Sariwating, pada addendum I, kontrak yang awalnya sebesar Rp. 6.973.000.000 atas kesepakatan dengan PPK, berubah menjadi Rp. 7.008.500.000. Dan pada addendum II, lagi-lagi kontraktor dan PPK bersepakat menambah waktu pekerjaan hingga 31 Desember 2020.
Namun yang terjadi, ketika perpanjangan waktu berakhir, ternyata kontraktor lalai bahkan ingkar janji atas kesepakatan yang sudah di buat.
Menurutnya, mestinya ketika phisik dari kapal itu tidak berada di Piru, saat itu PPK sudah harus bertindak tegas dengan melakukan pemutusan kontrak disertai pencairan jaminan dan meminta kontraktor supaya mengembalikan dana yang sudah terlanjur dibayarkan sebesar Rp. 4.241. 550.000 dengan rincian uang muka Rp. 1.394.600.000 dan termin I Rp. 2.846.950.000, namun hal itu tidak di lakukan oleh PPK.
“Karena dana yang telah di keluarkan begitu besar di tahun 2020, maka Pemda SBB berusaha dengan berbagai cara agar kapal ini dapat terwujud sesuai rencana semula. Dan agar tidak kehilangan muka, ketika memasuki tahun 2021 entah kenapa, Bupati SBB alm. Yasin Payapo (YP) pada tanggal 27 April 2021 dengan SK no. 903-270, menugaskan kepada kepala Badan Pengelola Keuangan & Aset Daerah (BPKAD) untuk melakukan pembayaran termin II atas pengadaan kapal sebesar Rp. 1.423.475.000,” urai Sariwating.
Celakanya, penugasan kepada kepala BPKAD ini ternyata telah menabrak sistim penganggaran yang lazim berlaku, dimana pembayaran yang dilakukan telah mendahului penetapan pada perubahan APBD.
Tidak itu saja kata Sariwating, karena di tahun 2021 tidak ada dana yang di anggarkan dalam APBD untuk pembayaran termin ke II. Dan ternyata dana termin ke II tersebut bisa cair, karena diduga tindakan yang dilakukan alm.YP sudah diberitahukan kepada Pimpinan DPRD, karena memang hal itu dimungkinkan oleh aturan.
Dalam hal ini, Permendagri No. 77 tahun 2020 tentang Pedoman Tehnis Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam Bab VI tentang Perubahan APBD, dimana “Pada kondisi tertentu, pergeseran anggaran yang menyebabkan perubahan APBD, dapat dilakukan sebelum perubahan APBD melalui ketetapan Kepala Daerah dengan diberitahukan kepada Pimpinan DPRD”.
“Dalam aturan ini jelas, bahwa alm.YP tidak mungkin mengambil kebijakan sendiri atas dana di luar APBD, tanpa diketahui oleh Pimpinan DPRD,” ujarnya.
Dengan demikian kata Sariwating, telah terjadi kerja sama antara Pemda SBB dan Pimpinan DPRD, sehingga dana sebesar Rp. 5.665. 025.000 (Rp. 4.241.550.000+ Rp. 1.423.475.000), yang telah dibayarkan kepada kontraktor menjadi mubasir, dan itu harus dikembalikan ke Kas Daerah, karena proyek yang harus di kerjakan ternyata gagal total.
“Harus ada pihak yang bertanggung jawab atas proyek gagal ini, selain Pemda dan kontraktor, Pimpinan DPRD juga harus dimintai keterangan,” tegas Sariwating.
Oleh sebab itu, untuk melengkapi proses yang sudah berjalan, Sariwating minta Polda Maluku di minta juga untuk memanggil Pimpinan DPRD SBB untuk dimintai keterangan seputar gagalnya proyek yang berpotensi merugikan keuangan daerah sebesar Rp. 5.665.025. 000 tersebut. (K-07)