Namlea, Kabaresi.com – Proyek jalan Lamahang-Rana, Kabupaten Buru yang sudah dikerjakan sejak tahun 2018 lalu oleh PT Kaironi, perusahaan luar daerah asal Manokwari-Papua Barat, diduga telah terjadi penyalahgunaan anggaran yang berujung pada tindak pidana korupsi.
Pasalnya, dalam proses pelaksanaan proyek untuk menghubungkan desa-desa yang terisolir di sepanjang pesisir Kecamatan Waplau hingga ke Danau Rana tersebut, banyak dijumpai praktek-praktek yang tidak sesuai, baik itu dengan isi kontrak, jadwal pelaksanaan maupun anggaran yang disediakan.
Gubernur LSM LIRA Maluku Jan Sariwating mengatakan, berdasarkan data yang diperoleh pihaknya, dalam APBD 2018 Dinas PUPR Buru menganggarkan belanja modal sebesar Rp. 295,9 Miliar dengan realisasi sebesar Rp. 262,1 Miliar.
“Dari realisasi sebesar Rp. 262,1 M tersebut, sebagian diantaranya yaitu sebesar Rp. 19 Miliar di anggarkan untuk proyek jalan Lamahang-Rana,”ungkap Sariwating kepada media ini, Senin (5/4/2021).
Menururtnya, proyek ini dimenangkan oleh PT Kaironi, perusahaan luar daerah dengan alamat Jln. Drs. Esau Sesa, Manokwari-Papua Barat.
Dengan memasukan penawaran tertinggi sebesar Rp. 19.1 Miliar dari pagu anggaran Rp. 19.9 Miliar, kata Sariwating, perusahaan ini berhasil menyisihkan 6 perusahaan lainnya yang ikut dalam proses lelang.
Ditambahkan, dalam surat perjanjian kontrak no. 600.25/kontrak-jalan/DPUPR- KB/VII/2018 tertanggal 16 Juli 2018, di tandatangani oleh Hasan Wael ST. MSi sebagai PPK dan Junaedi direktur PT Kaironi sebagai kontraktor, serta diketahui oleh Kadis PUPR Sifa Alattas, ST, sementara pekerjaan di mulai tanggal 16 Juli dan harus selesai 13 Des 2018 sesuai kontrak 150 hari kalender.
Namun, dengan alasan sulitnya bahan material dan tingginya curah hujan, perusahaan minta addendum dan penambahan jangka waktu ditambah menjadi 90 hari.
Anehnya, walaupun jangka waktu addendum sudah berakhir di bulan Maret 2019 lalu, namun oleh konsultan pengawas proyek ini baru dikerjakan sekitar 60 persen atau setara dengan dana sebesar Rp. 12 Miliar dari total nilai pekerjaan Rp. 19 Miliar.
Celakanya kata Sariwating, sesuai data yang diperoleh pihaknya, proyek ini sudah dibayar lunas 100 persen yaitu Rp.19 Miliar.
Dalam hal ini, ada 4 termijn (tahap) dalam melakukan pembayaran kepada perusahaan, yakni termijn pertama dibayar sebesar Rp. 3.810.000.000, tanggal 30 Juli 2018 sebagai uang muka.
Artinya, baru 2 minggu setelah kontrak ditanda tangani dan belum ada kegiatan apapun, namun perusahaan sudah dibayar sebesar itu.
Berikut, termijn kedua dibayar sebesar Rp. 3.810.000.000, tanggal 21 Desember 2018 dan termijn ketiga dibayar sebesar Rp. 3.810.000.000, tanggal 06 Agustus 2019.
Kemudian termijn keempat dibayar sebesar Rp. 6.667.500.000, tanggal 11 Maret 2020 dan termijn kelima dibayar sebesar Rp. 952.500.000, tanggal 03 April 2020.
Menurut Sariwating, melihat kenyataan yang terjadi ditambah dengan hasil yang di sampaikan oleh konsultan pengawas, seyogianya perusahaan (kontraktor) tidak berhak untuk menerima seluruh dana yang tertera dalam kontrak.
“Diduga ada tangan-tangan siluman yang telah merekayasa proyek ini untuk kepentingan pribadi maupun kelompok dan korporasi. Ada dana sebesar Rp. 7 Miliar (Rp.19 M — Rp. 12 M) yang diduga menguap akibat proses pembayaran yang melebihi pekerjaan di lapangan,”ujarnya.
Hal tersebut terjadi kata Sariwating, karena Kadis dan PPK lalai dalam melakukan pengawasan di lapangan. Untuk itu ada yang bertanggung jawab atas menguapnya dana sebesar Rp. 7 miliar tersebut.
Untuk itu, “Kami LSM LIRA meminta Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku melakukan penyelidikan atas kasus ini. Dan kelak kalau ternyata dari hasil penyelidikan ada pihak-pihak yang sengaja ingin memperkaya diri pribadi maupun kelompok, dengan merekayasa proyek ini, maka harus di proses sesuai ketentuan hukum yang berlaku. (Acl)